Aku yang Lain - Bab 2 (preview)

Bab 2 - Mimpi Pertama
Minggu, 20 Juli 2019 - 00.13
Wajah cantik itu sudah tampak redup. Sebercak sinar yang dipancarkannya pun kian menghitam. Ada ekspresi takut dan cemas yang hinggap pada tatapan matanya. Seakan ia tahu bahwa hidupnya sudah tak lama lagi. Senyum manis yang biasa dia tebarkan kini berubah muram. Hanya linangan air mata yang dapat melambangkan isak tangisnya saat ini, tanpa segelintir pun suara.
Hawa dingin menyapu habis seisi ruangan. Awan mendung disertai kilatan petir yang tajam menjadi pengindah malam sunyi ini. Saat kilat menjelma, seketika seisi ruangan pun terang. Saat itu juga terlihat siluet seorang lelaki dengan pisau besar tergenggam. Lelaki itu berdiri tepat di tengah jendela yang menghadap sebuah ranjang tempat si gadis kini terbaring. Spontan gadis itu terkejut. Apa yang dia pikirkan, yang membuat air matanya berlinang kini sudah jelas terlihat. Semakin lama, bayangan hitam itu semakin dekat. Pelan dan pelan, hingga suara langkahnya pun jadi tak terdengar. Ingin si gadis berteriak sekuat-kuatnya, namun ketakutannya membuat mulutnya tak mampu berkata. Ingin juga dia melompat berdiri, lalu berlari sekencang-kencangnya. Namun lagi, ketakutannya membuat kedua kakinya membeku.
Kesekian kalinya kilat menyambar. Kali ini lelaki itu telah berada tepat di depan mata si gadis. Lelaki itu mengangkat tangan, bersiap untuk mengayuh pisau besar yang dia genggam. Sekilas yang terlihat di wajahnya adalah sorotan mata yang tajam, disertai senyuman yang menyeramkan layaknya menikmati apa yang akan dia lakukan.
Sedetik sebelum si gadis tidur untuk selamanya, dia mengkaji lagi ingatan dalam pikirannya. Kesalahan apa yang sudah dia lakukan, hingga dirinya harus rela menimba nasib yang mengenaskan ini. Namun kosong. Selama hidupnya, dia percaya, kalau dia tidaklah mempunyai seorang musuh. Dia selalu berusaha melakukan kebaikan semampunya, membuat orang-orang yang dia kenal menyukainya. Tidaklah mungkin, pikirnya, akan ada orang yang tega melakukan perbuatan kejam semacam ini padanya. Sepintas yang terakhir diingat si gadis, ialah sosok lelaki yang sangat dicintainya. Lelaki dalam ingatannya itu tersenyum, membuatnya juga ikut tersenyum, untuk yang terakhir kalinya.
Sekonyong-konyong saat ingatan sang gadis kembali, sebilah pisau telah bersarang nikmat di perutnya. Darah merah kehitaman tersembur keluar dengan deras, lalu menggenang bak sebuah danau di tengah kota. Darahnya kini membasahi sebagian piyama krim yang dipakainya. Satu tusukan mungkin tidaklah cukup memuaskan hasrat si lelaki pembunuh. Kembali lelaki itu memainkan tangannya, menusukkan pisau besar itu di titik yang sama.
Dua kali, tiga kali, empat kali tusukan.
Barulah terpancar kepuasan di wajah tanpa ekspresi itu. Sang pembunuh berlutut dengan satu kaki, memandang wajah gadis tak beruntung di depannya. Leher gadis itu dipegang, lalu sedikit diangkat. Pisau yang tadi menusuk perut kini mengukir kening gadis itu. 181; angka itulah yang diukirnya. Sayatan pisau membuat darah bercecer melewati mata sang gadis. Tak cukup sampai di situ, dia pun mencoreng angka yang tadi diukirnya. Kali ini lebih dalam, membuat ceceran darah yang keluar itu menutupi hampir seluruh wajah korbannya. Puas dengan buah tangannya, lelaki itu menyeringai. Seram, namun penuh kebahagiaan. Dia pun menghilang tepat setelah kilat berlalu, seakan hanyut ke dalam gelap malam yang semakin mencekam.
***
Alarm berbunyi. Aku tersentak bangun karena mimpi yang begitu mengerikan. Dengan refleks kulihatlah kedua tanganku; ada bercak darah yang sudah mengering! Sambil menahan jantung yang terasa ingin melompat keluar, aku tergopoh menuju kamar mandi. Dengan panik aku membersihkan bercak darah itu. Apakah ini benar-benar mimpi? Setahuku, mimpi tidak mungkin senyata ini, sampai-sampai bisa meninggalkan bekas. Apa yang terjadi sebenarnya? Kuperhatikanlah cermin dengan saksama setelah embusan napasku sudah agak membaik. Terlihat di situ lelaki berumur 28 tahun dengan perawakan sedang, berwajah serius dengan mata cokelat yang menatap tajam, dan rambut hitam medium yang terurai. Tiba-tiba saja bulu kudukku meremang saat menyadari pakaianku; jaket kulit hitam dan celana jeans. Mana ada orang yang tidur dengan pakaian seperti ini, kecuali orang mabuk, pikirku.
Aku berlari keluar, mengambil topi bisbol, lalu pergi ke rumah yang ada dalam mimpiku tadi. Sebenarnya aku tak tahu rumah siapa itu, tapi entah kenapa, aku ingat dengan jelas jalan menuju ke sana. Tempat yang kumaksud itu hanya berjarak dua blok dari rumahku. Terlihat kalau rumahnya memanglah tidak besar-mungkin sama dengan rumahku, namun terlihat lebih nyaman. Dinding betonnya yang kokoh dengan cat warna biru laut berhasil menambah nuansa kenyamanannya. Namun kenyamanan rumah itu sirna bersamaan dengan adanya garis polisi yang menghiasi terasnya.
Sekarang sudah pukul 13.00, hanya tersisa dua orang polisi yang masih berjaga di sana; satu berbadan gemuk namun tegap dengan rambut pendek, dan satu lagi tampak atletis dengan berewok tipis. Aku menundukkan kepala dan bersembunyi di samping pohon besar tepat di seberang rumah itu. Saat ini yang kurasakan adalah takut bercampur heran. Jika itu mimpi, pasti rumahnya akan baik-baik saja, tidak seperti ini. Dan jika bukan aku yang melakukannya, kenapa aku merasa setakut ini? Selang beberapa saat, aku memberanikan diri untuk bertanya pada dua polisi itu.
Baru saja lima langkah aku berjalan, si rambut pendek berteriak menyapa, "Selamat siang!" Dia memasang senyum ramah. "Ada yang bisa dibantu? Area ini ditutup untuk umum, selain polisi dilarang masuk."
Aku berhenti, kemudian menjawab, "Maaf mengganggu, Pak. Saya tinggal enggak jauh dari sini dan cuma ingin membeli obat. Tapi saya lihat ada garis polisi di sini, jadi saya mampir untuk mengecek. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Polisi berbadan atletis melihatku dalam, seakan curiga dengan penampilanku. Bodohnya aku, harusnya kuganti dahulu pakaianku sebelum pergi, ini terlalu mencurigakan. Dia melihat rekannya untuk memberi semacam kode. Si rambut pendek mengangguk pelan, lalu berkata, "Semalam ada pembunuhan. Korbannya cewek yang tinggal di sini." Dia memperhatikan kedua tanganku. "Kau kayaknya kurang sehat, Bro. Tanganmu kenapa?"
Aku terdiam beberapa saat. "Oh, ini enggak apa-apa, kok," jawabku sambil melihat kedua tangan, lalu menyembunyikannya ke belakang badan.
Sekilas kulihat polisi berewok itu pergi beberapa langkah, lalu menelepon seseorang. Tak ingin mengambil risiko, aku kembali berkata, "Baiklah, Pak, kayaknya saya harus pergi. Selamat siang." Dengan senyum kikuk, aku bergegas pergi meninggalkan mereka tanpa menoleh sedikit pun.
***
Ruang tengah rumahku tidaklah luas. Dengan dinding berwarna abu-abu-warna favoritku sejak kecil. Sebuah televisi LED berukuran 32 inci berdiri agak jauh di depanku yang tengah duduk di sebuah sofa hitam. Meja kecil yang berserakan berbagai macam bungkus makanan cepat saji dan dua cangkir kopi yang telah kosong begitu kaku rasanya.
Malam ini aku hanya diam sambil melamun. Masih memikirkan kejadian aneh dan mengerikan yang menimpaku. Berulang kali aku menanyakan satu pertanyaan yang sama, "Apa benar aku yang telah membunuh gadis tak berdosa itu?" Jam dinding di sampingku bergema semakin keras dari detik ke detik. Kepalaku mau pecah rasanya. Aku mengabahkan cangkir kopi ke mulutku. Habis rupanya. Lalu aku bersandar dengan lemas sambil memejamkan kedua mataku. Tak lama aku berdiri, mengambil sweater maroon, lalu beranjak pergi. Aku harus memeriksa rumah gadis itu.
Malam yang gelap dan sedikit berkabut membuat badanku menggigil. Suara jangkrik-jangkrik yang saling bersautan seakan memanggilku untuk pulang dan tidur. Tapi siapa yang ingin tidur? Jika nantinya akan berjumpa lagi dengan mimpi buruk yang nyata itu. Sempat aku berpikir, dosa apa yang telah aku perbuat? Sehingga aku harus merasakan ketakutan yang amat kejam ini.
Aku memang bukan pria yang taat akan agama. Tapi seingatku, aku tak pernah dan tidak akan pernah mau melecehkan seseorang, apalagi membunuhnya. Yang benar saja! Semasa hidupku, aku selalu melakukan hal baik sebisa dan semampuku, bahkan ke hewan sekali pun. Aku juga selalu menjalanani kehidupan dengan baik dan terarah. Tak pernah ada satu kejahatan pun yang pernah aku lakukan. Hingga saat ini. Bukan kejahatan kecil lagi yang telah kuperbuat, melainkan kejahatan yang tak akan mampu untuk dimaafkan mungkin oleh Tuhan sekali pun. Namun sebagian hati kecilku tetap berkata dan yakin bahwa bukan aku yang telah melakukan dosa besar itu. Sungguh bukan aku!
Beberapa menit pun berlalu. Tepat setelah aku sampai di depan rumah gadis korban mimpi burukku itu, aku bergeming. Aliran darahku seakan terpompa begitu cepat. Mataku berkunang. Semakin lama semakin gelap, sangat-sangat gelap. Hingga akhirnya aku terjatuh tak sadarkan diri.
Aku terbangun di tempat yang sangat gelap. Hanya ada satu cahaya merah kekuningan-mungkin dari sebuah lilin-yang terlihat, itu pun sangat jauh dari tempatku sekarang. Aku merogoh saku celana, berharap ponselku dapat memberikan cahaya. Tapi sial, aku tidak bisa menghidupkannya. Terpaksa, dengan perlahan, aku menelusuri tempat gelap ini. Mengikuti percikan kecil cahaya yang jauh di depanku.
Aku berjalan dengan langkah yang sangat amat kecil. Aku takut akan menabrak sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu apa itu. Aku juga takut jika di sini terdapat sebuah jebakan yang akan membuatku terluka, bahkan mati. Tapi, bukannya lebih baik mati daripada harus hidup dengan menanggung dosa besar, meskipun dosa itu dilakukan tanpa sadar? Namun, entah kenapa, hatiku tidak sependapat dengan pikiranku kali ini. Aku masih takut mati. Aku belum boleh mati sekarang!
Sepertinya sudah setengah jam aku berjalan. Cahaya itu masih jauh sekali. Bahkan ukurannya saja tidak berubah dari awal aku melangkah tadi. Sampai kapan aku harus terjebak di tempat yang menyeramkan ini? Tiba-tiba terdengar tawa yang sangat kencang dan menggema. Aku tersentak. Dengan refleks tanganku menutup kedua telinga. Selang beberapa detik, tawa itu perlahan lenyap, lalu berganti dengan suara yang serak lagi parau.
"Selamat datang, Manusia!"
Aku melihat sekeliling. "Siapa kau? Di mana aku?"
Dia tertawa lagi, kemudian berkata dengan suara yang lebih keras, "Kau tidak tahu siapa aku?"
Aku terlalu takut, sampai-sampai tak ada satu pun kata yang bisa keluar dari mulutku untuk menjawabnya.
"Kau berada di dalam dirimu sendiri. Apa kau lupa?" Dia diam sejenak. "Atau kau terlalu bodoh untuk mengerti?"
"Aku, aku enggak mengerti maksudmu. Tunjukkan dirimu sekarang!" Aku berteriak, memberanikan diri meski sebenarnya seluruh badanku bergetar bukan main sekarang.
Makhluk itu tak membalas kali ini, hanya tertawa keras. Dan perlahan-lahan, tawa itu pun menghilang.
Dengan kaki yang semakin bergetar aku berjalan. Kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Semakin dekat aku dengan cahaya itu, justru semakin dingin hawa yang menusuk tulangku. Tubuh ini makin bergetar. Aku menyilangkan lengan untuk mengurangi rasa dingin yang menyergapku. Akhirnya tibalah aku tepat di depan sumber cahaya itu. Yang tadi aku perkirakan ternyata benar. Cahaya itu berasal dari sebuah lilin merah besar yang berdiri di atas sebuah cawan perak. Cawan itu kira-kira berdiameter 20cm dengan tangkai kecil yang tingginya sepinggang. Anehnya, di pinggir luar cawan itu terukir jelas namaku; Arga Prayudha.
Seketika aku terkejut. Sekujur tubuhku seperti terkena sengatan listrik. Tepat di saat pandanganku tak sengaja melihat ke depan, muncul-lah sosok bayangan yang amat besar. Tingginya dua kali lipat tinggiku. Kedua matanya bersinar merah kehitaman, sangat terang dan sangar.
Sosok itu perlahan mendekat. Kucoba mengerakkan kakiku, namun tak berhasil. Tubuh ini membeku bagaikan sebongkah es. Mata ini juga tak dapat berlari dari menatap makhluk menyeramkan itu. Bahkan untuk terpejam saja aku tidak bisa. Hingga sosok itu tepat berada satu meter di depanku, pandanganku terasa kabur dan perlahan gelap. Kembali aku terjatuh dan tak sadarkan diri.[]
Adnan Fadhil Dibaca 40 Kali
